Sebuah gempa tektonik terjadi di dasar Samudera Indonesia (Samudera Hindia) lepas pantai selatan Kabupaten Kebumen (Jawa Tengah) pada Rabu senja 4 Juni 2014 pukul 18:00 WIB. Awalnya Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut gempa tektonik itu berkekuatan 5,0 skala Richter dengan episentrum di koordinat 8,46 LS 109,28 BT. Secara administratif episentrum gempa ini terletak di lepas pantai Kabupaten Kebumen, berjarak 98 km di selatan-barat daya kota Kebumen. Episentrum sesungguhnya lebih berdekatan dengan kota Cilacap, yakni ‘hanya’ 86 km ke selatan-tenggara. Namun atas pertimbangan tertentu BMKG menempatkan kota Kebumen sebagai acuan sehingga gempa ini pun dinamakan gempa Kebumen, atau lengkapnya Gempa Kebumen 4 Juni 2014. Terhadap kota Yogyakarta, episentrum gempa ini berjarak 143 km di sebelah barat daya.
Rilis BMKG juga menyebut kedalaman sumber gempa ini adalah 10 km dari paras air laut rata-rata (dpl), sehingga tergolong gempa dangkal. Namun analisis lebih lanjut memperlihatkan nampaknya sumber gempa ini lebih dalam dari itu. Analisis internal di lingkup BMKG (yang tak dipublikasikan) berbasis JISView menunjukkan sumber gempa ada pada kedalaman 49 km. Sedangkan analisis geofon (GFZ) memperlihatkan kedalaman lebih besar lagi, yakni 87 km. Dan analisis awal National Earthquake Information Center United States Geological Survey di AS memperlihatkan kedalaman yang berbeda lagi, yakni 35 km. Perbedaan ini adalah wajar, mengingat rilis awal sebuah gempa sangat dipengaruhi oleh terbatasnya data seismik yang bisa diperoleh dari stasiun-stasiun kegempaan di sekeliling sumber gempa. Yang jelas jika mempertimbangkan sifat subduksi antar lempeng tektonik di selatan pulau Jawa, sumber gempa pada kedalaman 50 km atau lebih relatif bisa diterima dibanding yang lain.
Gelombang gempa ini menggetarkan daratan Jawa Tengah bagian selatan dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Di kota Kebumen, getaran gempa ini terasa pada intensitas sekitar 2 hingga 3 MMI (Modified Mercalli Intensity) dengan durasi getaran tak sampai 5 detik. Pun demikian di kota Yogyakarta, juga antara 2 hingga 3 MMI. Seperti apa getaran berintensitas 3 MMI itu? Mari bayangkan kita sedang berdiri di tepi jalan raya saat sebuah truk tronton melintas dengan kecepatan sedang. getaran yang kita rasakan di pinggir jalan itulah getaran yang setara intensitas 3 MMI. Getaran berintensitas 3 MMI merupakan getaran terlemah yang masih bisa dirasakan manusia pada umumnya dari sebuah gempa bumi, khususnya bagi kita yang sedang bertempat di permukaan tanah, bukan di bangunan-bangunan bertingkat. Tak ada kerusakan yang terjadi akibat getaran 3 MMI ini, pun tak menyebabkan kepanikan publik. Kita hanya sedikit terhenyak saat merasakan getarannya dan sadar telah terjadi gempa bumi.
Selain tak menimbulkan kerusakan Gempa Kebumen 4 Juni 2014 pun tak memicu tsunami, seperti dipaparkan sistem peringatan dini tsunami Indonesia/Indonesian Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS), yang juga berada di bawah BMKG. Untuk ukuran manusia energi gempa bumi ini tergolong besar, yakni 0,48 kiloton TNT atau 1/21 kali kekuatan ledakan bom nuklir Hiroshima. Namun untuk ukuran gempa bumi, energi tersebut sejatinya cukup kecil sehingga tak berdampak besar dan meluas. Di sisi lain, gempa ini memang disebabkan oleh pematahan segmen kerak bumi yang kemudian melenting ke atas seperti diperlihatkan analisis JISView. Namun dengan lokasi sumber gempa yang sangat dalam dan magnitud (kekuatan)-nya yang tergolong menengah, maka bagian dasar Samudera Indonesia yang tepat berada di atas sumber gempa relatif tidak mengalami pengangkatan yang signifikan. Akibatnya kolom air Samudera Indonesia yang tepat berada di atasnya pun relatif tak terusik, sehingga tsunami tak terjadi.
Terkunci
Meski getarannya lemah, namun Gempa Kebumen 4 Juni 2014 ini menggamit tanya bagi sebagian kalangan di Kabupaten Kebumen pada khususnya dan Jawa Tengah bagian selatan pada umumnya. Jika berpatokan pada kekuatan 5,0 skala Richter atau yang lebih besar, maka ini adalah gempa ketiga yang menggetarkan kawasan ini hanya dalam paruh pertama tahun 2014, setelah Gempa Kebumen 25 Januari 2014 (6,1 skala Richter) dan Gempa Kebumen 27 Januari 2014 (5,0 skala Richter). Padahal di tahun-tahun sebelumnya relatif lebih tenang. Apa yang sedang terjadi?
Episentrum Gempa Kebumen 4 Juni 2014 berposisi lebih ke selatan dibanding Gempa Kebumen 25 Januari 2014. Keduanya terpisah jarak 54 km. Sehingga gempa terbaru ini bukanlah gempa susulan (aftershocks) dari gempa 4 bulan silam itu. Hal ini berbeda dengan Gempa Kebumen 27 Januari 2014, yang episentrumnya hanya terpisah 12 km saja dari gempa dua hari sebelumnya. Gempa tektonik berkekuatan 6 hingga 6,5 skala Richter pada umumnya bersumber dari patahnya segmen batuan dalam luasan sekitar 20 x 10 kilometer persegi. Dengan demikian Gempa Kebumen 27 Januari 2014 bisa dipandang sebagai gempa susulan dari Gempa Kebumen 25 Januari 2014, karena episentrumnya berjarak kurang dari 20 km.
Kawasan pantai selatan Jawa Tengah khususnya lepas pantai Kabupaten/Kota Cilacap, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Purworejo telah lama menarik perhatian seiring jarangnya gempa di sini. Dengan kata lain, kawasan ini memiliki kegempaan yang rendah. Hal ini cukup kontras jika dibandingkan kawasan sebelah-menyebelahnya yang dipenuhi jejak-jejak episentrum gempa tektonik sepanjang abad ke-20 dan 21, semenjak pencatatan gempa dengan seismometer mulai dilakukan. Jarangnya gempa tentu mengundang tanya, mengingat seluruh pulau Jawa bagian selatan sejatinya berhadapan dengan sumber gempa yang sama. Yakni zona subduksi, yang terbentuk kala lempeng Australia yang oseanik dan bergerak relatif ke utara dengan kecepatan 67 hingga 70 mm/tahun bersubduksi dengan lempeng Sunda (Eurasia) yang kontinental dan relatif diam.
Subduksi menghasilkan sejumlah gejala dengan beberapa diantaranya nampak secara fisis seperti palung Jawa, yakni jurang di dasar Samudera Indonesia yang merentang di sepanjang lepas pantai selatan pulau Jawa yang berkedalaman ribuan meter. Titik terdalam palung Jawa adalah sebesar 7.720 meter di bawah paras air laut yang mengambil lokasi di lepas pantai selatan Jawa Tengah, tepatnya sejauh 275 km di sebelah selatan dari garis pantai Kabupaten Purworejo. Di sepanjang palung Jawa inilah lempeng Australia mulai melekuk (menyubduksi) seiring berat jenisnya yang lebih besar sehingga menyelusup menuju ke lapisan selubung (astenosfer) dalam sudut tertentu. Di sepanjang penyusupan inilah lempeng Australia bergesekan dengan lempeng Sunda (Eurasia) yang menjadi dasar pulau Jawa, menghasilkan zona subduksi yang antara lain menjadi sumber-sumber gempa tektonik hingga kedalaman sekitar 60 km. Selepas kedalaman tersebut sumber-sumber gempa tektonik masih dijumpai hingga kedalaman lebih dari 480 km, namun murni berasal dari aktivitas internal pada lempeng Australia yang melekuk tanpa terkait sama sekali dengan lempeng Sunda diatasnya.
Zona subduksi selalu menjadi sumber gempa tektonik yang riuh. Karena itulah gempa-gempa tektonik jauh lebih banyak dijumpai di sisi selatan pulau Jawa ketimbang sisi utaranya. Kian ke selatan, kian dangkal sumber gempa tektoniknya karena kian dekat dengan zona subduksi. Dengan lokasinya di pesisir selatan pulau Jawa, maka kawasan lepas pantai Kabupaten/Kota Cilacap, Kebumen dan Purworejo pun berhadapan dengan zona subduksi seperti halnya kawasan sebelah-menyebelahnya. Jadi mengapa di kawasan ini gempa justru jarang terjadi?
Ada dua dugaan besar. Yang pertama, gempa jarang terjadi karena kawasan ini secara tektonik mungkin kurang aktif dibanding sebelah-menyebelahnya. Salah satu penyebabnya mungkin akibat adanya gunung bawahlaut di dekat palung Jawa tepat di sebelah selatan kawasan ini. Kaki gunung bawahlaut tersebut nampaknya mulai ‘tertelan’ ke dalam palung Jawa seiring pergerakan lempeng Australia, sehingga ‘mengganjal’ pergerakan lempeng Australia yang sedang bersubduksi dan membuat bagian ini menjadi kurang aktif. Sementara dalam dugaan kedua, gempa jarang terjadi karena kawasan ini sedang dalam kondisi ‘terkunci’ secara tektonik, dimana bagian lempeng Sunda yang ada di dasar kawasan ini seakan-akan melekat kepada lempeng Australia yang sedang menyubduksi. Karena ‘terkunci’, akibatnya kawasan ini turut bergerak seirama pergerakan lempeng Australia. Namun penguncian tersebut hanya sementara, karena bila tekanan yang diderita segmen batuan di zona penguncian tak lagi sanggup ditahan oleh batuan tersebut, maka patahlah ia. Pematahan akan membuat bagian lempeng Sunda yang ada di atasnya akan terbebaskan dan mendadak melenting ke arah sebaliknya, yakni ke selatan, ibarat pegas yang baru saja lepas menyandang beban. Pelentingan ini akan menghasilkan gempa besar.
Sejarah
Mana yang lebih tepat? Tak ada yang tahu. Namun di abad ke-19 kawasan ini pernah dua kali menjadi bagian dari sumber gempa besar, masing-masing gempa 1840 dan gempa 1867. Gempa 1840 mungkin berkekuatan 7 skala Richter atau lebih, berpusat di daratan Jawa Tengah bagian selatan dan DIY serta dasar laut yang berhadapan dengannya. Sementara gempa 1867 jauh lebih besar dan diduga berkekuatan 8 skala Richter atau lebih dengan sumber gempa merentang mulai dari seluruh Jawa Tengah bagian selatan hingga separuh Jawa Timur bagian selatan. Jejak kedahsyatan gempa 1867 hingga kini masih terlihat di kawasan Tamansari, sudut barat daya Karaton Kasultanan Yogyakarta. Istana air ini luluh lantak akibat gempa 1867 dan tak pernah lagi diperbaiki sejak saat itu.
Pasca 1867, kawasan ini mengalami sedikitnya dua gempa kuat. Masing-masing pada 27 September 1937 (magnitudo 7,2 skala Richter) dengan sumber di dasar samudera sebelah selatan DIY dan pada 23 Juli 1943 (magnitudo 8,1 skala Richter) dengan sumber di dasar samudera sebelah selatan Cilacap. Selepas kedua gempa kuat itu, kawasan ini relatif kembali sepi hingga 2014 ini.
Melihat sejarah tersebut, nampaknya dugaan kedua yang lebih kuat. Kawasan lepas pantai selatan Kabupaten/Kota Cilacap, Kebuman dan Purworejo sejatinya aktif secara tektonik, namun jarang mengalami gempa karena sedang ‘terkunci’, alias sedang menimbun energi. Ahli kegempaan menyebut kawasan seperti ini sebagai seismic gap. Dan kelak energi itu bakal dilepaskan, dengan kekuatan yang besar. Dalam perspektif ilmu kegempaan, berulangnya gempa di lepas pantai selatan Kabupaten/Kota Cilacap, Kebumen dan Purworejo mungkin menjadi indikasi bahwa kawasan yang telah lama tertidur ini sedang mulai bangun kembali. Tentu saja butuh penyelidikan lebih lanjut apakah memang demikian adanya, oleh pihak-pihak yang lebih berkompeten (misalnya oleh Puslitbang Geoteknologi LIPI).
Ketiga gempa yang sudah terjadi pada paruh pertama tahun 2014 ini memang tergolong kecil. Namun gempa kecil-kecil ini cukup bermanfaat untuk mengurangi timbunan energi di kawasan yang terkunci ini. Di atas kertas, 32 gempa 5 skala Richter di lokasi yang sama secara akumulatif melepaskan energi yang sama dengan gempa tunggal berkekuatan 6 skala Richter. Dan 32 gempa 6 skala Richter di lokasi yang sama melepaskan energi akumulatif setara gempa tunggal berkekuatan 7 skala Richter. Dengan kata lain, akan lebih baik jika gempa kecil-kecil ini (dengan kekuatan antara 5 hingga 6 skala Richter) lebih sering terjadi di kawasan ‘terkunci’ ini. Getarannya mungkin membuat kita terhenyak, namun tiada kerusakan berat yang menyertainya. Itu lebih baik ketimbang satu gempa besar yang langsung meletup dan menghasilkan pukulan telak dengan kerusakan berskala luas.
Gambaran ini bukan berarti bahwa penulis bertujuan untuk menakut-nakuti siapapun yang tinggal di Jawa Tengah bagian selatan, khususnya di Kabupaten/Kota Cilacap, Kebumen dan Purworejo. Sebaliknya justru mencoba menyajikan sebuah perspektif bahwa ada potensi gempa kuat/besar di sini, yang perlu disikapi dengan sebaik-baiknya sejak dini. Apalagi dengan sebagian sumbernya ada di laut, potensi terjadinya tsunami pun sangat terbuka. Waspada terhadap gempa perlu dibangun dan dilatih. Memang bencana, seperti halnya kematian, adalah takdir yang sudah digariskan Allah SWT. Namun kita baru tahu hal itu sebagai takdir tatkala peristiwanya sudah berlalu. Sebelum peristiwanya berlangsung, kita masih bisa berupaya untuk meminimalkan resiko yang akan timbul kala gempa semacam itu benar-benar datang.
Referensi :Ina-TEWS BMKG. 2014. 04-Jun-2014 Jam 17:59:39 WIB Magnitudo 5.0 SR, 97 km BaratDaya Kebumen Jawa Tengah.USGS. 2014. M4,9 – 99 km SSE of Karangbadar Kidul, Indonesia, 2014-06-04 10:59:39 UTC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar